Internasional

Krisis Ekonomi, Warga Afghanistan Terpaksa Jual Anak

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
Pixabay

Warga Afghanistan terpaksa menjual anak-anak mereka. Hal ini terjadi karena situasi di negara tersebut telah kacau sejak Taliban mengambil alih wilayah. Warga setempat juga menderita kekeringan jangka panjang.

Makin Memburuk: Dikutip dari DW, UNICEF melaporkan pandemi COVID-19 semakin menekan krisis pangan dan situasi bagi setiap keluarga. Hampir setengah populasi Afghanistan mengalami kemiskinan dan kekurangan kebutuhan seperti nutrisi dasar dan air bersih.

Selain itu, di Badghis, penduduk Afghanistan Barat telah dilanda kekeringan panjang dan terpaksa meninggalkan rumah serta desa mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) mencatat dari 1 Januari 2021 hingga 18 Oktober 2021 ada sekitar 667.903 orang yang meninggalkan rumah karena konflik dan 33 dari 34 provinsi mengalami pemindahan paksa.

Di sisi lain, Taliban masih tetap mencari pengakuan internasional setelah merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus 2021. Taliban juga memahami situasi di wilayah yang terus memburuk.

Menjual Anak: Seorang penduduk Kabul, Mohammad Ibrahim, mengatakan, ia tidak punya pilihan lain selain menawarkan putrinya yang berusia tujuh tahun untuk melunasi hutang keluarganya. Seorang gadis bernama Najeeba juga telah diperdagangkan oleh keluarganya dengan imbalan 50 ribu Afghanis atau sekitar Rp7,6 juta.

Menurut UNICEF, jutaan anak Afghanistan membutuhkan layanan penting, termasuk perawatan kesehatan primer, vaksin, penyelamat hidup terhadap polio dan campak, nutrisi, pendidikan, perlindungan, tempat tinggal, air, dan sanitasi.

Menyusut 30 Persen: Pengangguran di Afghanistan melonjak drastis dan sumber pendapatan menyusut bagi banyak orang, sehingga angka bunuh diri meningkat.

Dana Moneter Internasional mengatakan ekonomi Afghanistan juga akan menyusut hingga 30 persen tahun ini. Sebelum Taliban mengambil alih wilayah, 75 persen pengeluaran publik berasal dari hibah bantuan negara asing.

Namun, pasukan asing dan pihak donor internasional meninggalkan negara itu tanpa hibah, yang membiayai 3/4 belanja publik sebelumnya. Sehingga, Taliban kesulitan untuk membayar gaji yang terutang kepada pegawai negeri ditambah bank menghadapi krisis uang tunai pada beberapa bulan terakhir.

Baca Juga

Share: Krisis Ekonomi, Warga Afghanistan Terpaksa Jual Anak